Rabu, April 29, 2009
Sabtu, April 25, 2009
POTRET UN SMA 2009
Pelaksanaan UN tingkat SMA/SMK Negeri, Swasta di Humbahas selama 4 hari berjalan dengan lancar dan aman. Bupati Humbahas Drs Maddin Sihombing MSi, Wakil Bupati Drs Marganti Manullang dan Kapolres AKBP Surya Sofian Hadi SH didampingi Kadis Pendidikan Drs Pensus Sihombing monitoring di beberapa sekolah.
Maddin Sihombing saat monitoring memberikan semangat kepada siswa dan menyarankan supaya teliti dalam memberikan jawaban. Sebelum pelaksanaan ujian berlangsung diminta kepada siswa supaya berdoa agar diberikan Tuhan kesehatan dan pikiran jernih. Kadis Pendidikan Drs Pensus Sihombing saat menjamu makan siang pemantau UN di rumah dinas wakil bupati ketika ditanya SIB, Kamis (23/4) berapa jumlah siswa SMA/SMK yang mengikuti UN tidak mendapat jawaban secara rinci. “Nanti saya antar jumlah peserta yang mengikuti ujian”, kata Pensus tanpa menjelaskan kemana data tersebut diantar.
Kabag Humas Arifin Nainggolan SH, ketika ditanya SIB, Jumat (24/4) mengatakan jumlah siswa yang mengikuti ujian SMA/SMK baik negeri dan swasta di Humbahas 3.275 orang dengan perincian SMA 2.153 dan SMK 1.122. Untuk tingkat SMP/MTs negeri dan swasta akan mengikuti UN mulai Senin 27-30 April 2009 dengan jumlah peserta 4.288. (T10/c)
Diposting oleh chei ianq cUpEr sLengeQan di 01.42 0 komentar
Selasa, April 21, 2009
IBU KARTINI
Kartini was born into an aristocratic Javanese family in a time when Java was still part of the Dutch colony, the Dutch East Indies. Kartini's father, Raden Mas Sosroningrat, became Regency Chief of Jepara, and her mother was Raden Mas' first wife, but not the most important one. At this time, polygamy was a common practice among the nobility.
Kartini's father, RMAA Sosroningrat, was originally the district chief of Mayong. Her mother was MA Ngasirah, the daughter of Kyai Haji Madirono, a teacher of religion in Teluwakur, Jepara, and Nyai Haji Siti Aminah. At that time, colonial regulations specified that a Regency Chief must marry a member of the nobility and because MA Ngasirah was not of sufficiently high nobility[1], her father married a second time to Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), a direct descendant of the Raja of Madura. After this second marriage, Kartini's father was elevated to Regency Chief of Jepara, replacing his second wife's own father, RAA Tjitrowikromo.
Kartini was the fifth child and eldest daughter in a family of eleven, including half siblings. She was born into a family with a strong intellectual tradition. Her grandfather, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, became a Regency Chief at the age of 25 while Kartini's older brother Sosrokartono was an accomplished linguist.
Kartini's family allowed her to attend school until she was 12 years old. Here, among other subjects, she learnt to speak fluent Dutch, an unusual accomplishment for Javanese women at the time[2]. After she turned 12 she was 'secluded' at home, a common practice among Javanese nobility, to prepare young girls for their marriage. During seclusion girls were was not allowed to leave their parents' house until they were married, at which point authority over them was transferred to their husbands. Kartini's father was more lenient than some during his daughter's seclusion, giving her such privileges as embroidery lessons and occasional appearances in public for special events.
During her seclusion, Kartini continued to educate herself on her own. Because Kartini could speak Dutch, she acquired several Dutch pen friends. One of them, a girl by the name of Rosa Abendanon, became her very close friend. Books, newspapers and European magazines fed Kartini's interest in European feminist thinking, and fostered the desire to improve the conditions of indigenous women, who at that time had a very low social status.
Kartini's omnivorous reading included the Semarang newspaper De locomotief, edited by Pieter Brooshooft, as well as leestrommel, a set of magazines circulated by bookshops to subscribers. She also read cultural and scientific magazines as well as the Dutch women's magazine De Hollandsche Lelie, to which she began to send contributions which were published. From her letters, it was clear that Kartini read everything with a great deal of attention and thoughtfulness. The books she had read before she was 20 included Max Havelaar and Love Letters by Multatuli. She also read De Stille Kracht (The Hidden Force) by Louis Couperus, the works of Frederik van Eeden, Augusta de Witt, the Romantic-Feminist author Mrs Goekoop de-Jong Van Beek and an anti-war novel by Berta von Suttner, Die Waffen Nieder! (Lay Down Your Arms!). All were in Dutch.
Kartini's concerns were not just in the area of the emancipation of women, but also the problems of her society. Kartini saw that the struggle for women to obtain their freedom, autonomy and legal equality was just part of a wider movement.
Kartini's parents arranged her marriage to Raden Adipati Joyodiningrat, the Regency Chief of Rembang, who already had three wives. She was married on the 12 November 1903. This was against Kartini's wishes, but she acquiesced to appease her ailing father. Her husband understood Kartini's aims and allowed her to establish a school for women in the east porch of the Rembang Regency Office complex. Kartini's only son was born on September 13, 1904. A few days later on September 17, 1904, Kartini died at the age of 25. She was buried in Bulu Village, Rembang.
Inspired by Kartini's example, the Van Deventer family established the Kartini Foundation which built schools for women, 'Kartini's Schools' in Semarang in 1912, followed by other women's schools in Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon and other areas.
In 1964, President Sukarno declared Kartini's birth date, 21 April, as 'Kartini Day' - an Indonesian National Holiday. This decision has been criticised. It has been proposed that Kartini's Day should be celebrated in conjunction with Indonesian Mothers Day, on 22 December so that the choice of Kartini as a national heroine would not overshadow other women who, unlike Kartini, took up arms to oppose the colonisers.
In contrast, those who recognise the significance of Kartini argue that not only was she a feminist who elevated the status of women in Indonesia, she was also a nationalist figure, with new ideas who struggled on behalf of her people, including her in the national struggle for independence.
Diposting oleh chei ianq cUpEr sLengeQan di 23.43 0 komentar
ISLAM YANG SEBENARNYA?
Penjelasan Biasa
Dalam bahasa Arab, perkataan "Islam" bermaksud "tunduk" atau "patuh". Jika seorang Muslim ditanya, "Apakah itu Islam?", biasanya dia akan menjawab, "Agama yang tunduk kepada Allah, satu-satu Tuhan yang benar."
Jawapan ini terlalu ringkas. Untuk memahami Islam yang benar, satu gambaran yang jelas yang diperlukan. Untuk mendapat gambaran yang jelas ini, satu penelitian sejarah diperlukan.
Islam Dalam Sejarah
Sebelum Islam bertapak di tanah Arab di bawah pimpinan Muhammad, terdapat empat jenis kepercayaan yang berpengaruh di sana.
- Arab Jahiliah
- Yahudi
- Kristian
- Hanif
Mereka ini penyembah-penyembah berhala yang percaya kepada satu Tuhan yang Maha Tinggi, dewa-dewi dan berbagai jenis kuasa ghaib. Walaupun begitu, sebilangan besar daripada mereka (terutamanya bani Quraisy di Mekah) mengaku diri mereka dari keturunan Ibrahim.
Rumah berhala mereka yang terkenal ialah Kaabah yang bertempat di Mekah. Di dalamnya terdapat berbagai objek-objek pujaan dan berhala.
Pada zaman Muhammad, terdapat ramai orang Yahudi di tanah Arab. Sebilangan besar dari mereka bukan Yahudi sejati melainkan yang telah memeluk agama Yahudi. Menurut Yaqubi, bani Yahudi Quazah dan Nadhir di Madinah merupakan suku-bangsa Arab Jurham yang telah diyahudikan.
Orang Yahudi pada masa itu lebih berpengetahuan tentang dongeng rakyat dan tulisan ulama mereka daripada apa yang sebenarnya di tulis dalam Taurat. Malah, ada yang telah lupa bahasa asal mereka dan tidak dapat lagi membaca kitab Taurat yang ditulis dalam bahasa Ibrani. Kerana ulama-ulama Yahudi sahaja yang memahami kitab Taurat, ayat-ayat dari kitab itu terpaksa diterjemahkan secara spontan ke dalam bahasa Arab dalam upacara-upacara sembahyang umum.
Orang yang pertama menjadi Kristian ialah orang Yahudi. Mereka berbeza dengan orang Yahudi lain kerana menerima Isa sebagai Al-Masih yang telah dijanjikan Allah. Apabila semakin ramai orang bukan-Yahudi memeluk agama Kristian, mereka mula membentuk identiti mereka sendiri. Pada zaman Muhammad, orang Kristian telah wujud selama enam ratus tahun. Dalam masa yang singkat itu, agama Kristian berjaya menjadi agama utama di Timur Tengah.
Akan tetapi orang Kristian pada masa itu telah pudar semangat dan banyak ajaran-ajaran sesat telah berjaya memecahbelahkan penduduk Kristian kepada kelompok-kelompok yang bertentangan fahaman. Ramai orang keliru tentang fahaman Kristian yang benar terutamanya mereka yang tidak berpeluang membaca Alkitab (gabungan kitab Taurat, Mazmur dan Injil) untuk mengkaji isu-isu yang diperdebatkan.
Suasana ini merebak ke tanah Arab yang pada masa itu tidak memiliki Alkitab dalam bahasa Arab. Orang Kristian di tanah Arab pada masa itu terdiri dari golongan Nestoria, Baizantin dan Monofisit. Golongan Baizantin dan Monofisit merupakan dua golongan paling berpengaruh dan merekalah yang menimbulkan perbalahan apabila memanggil Maryam, Ibu Tuhan. Maka tidak hairanlah jika suasana seperti itu telah menghalang Muhammad daripada mendapatkan ajaran Kristian yang benar.
Akhirnya, penyebaran ajaran-ajaran sesat ini dapat disekat dan dibetulkan. Prosesnya mengambil masa yang lama kerana campur tangan berbagai pihak yang berkuasa. Apabila umat Kristian berjaya bangkit dari kemelut akidah yang telah memecahbelahkan mereka, Islam telah pun bertapak di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Perkataan Hanif bermaksud "Dia yang berpaling" iaitu daripada penyembahan berhala. Orang Hanif ialah orang Arab Jahiliah yang telah dipengaruhi oleh fahaman Yahudi dan Kristian lalu mereka menolak amalan penyembahan berhala. Mereka tidak berjemaah tetapi percaya agama yang benar ialah agama yang dipegang bapa bangsa mereka, Ibrahim.
Agama Yahudi, Kristian dan Islam masing-masing menuntut mewakili agama Ibrahim yang sebenar. Adalah menarik bahawa dari empat Hanif yang diceritakan oleh Ibn Ishaq, tiga daripada mereka menemui kebenaran yang dicari-cari mereka dalam agama Kristian.
Hanif yang pertama ialah Waraqah bin Naufal, sepupu Khatijah, isteri pertama Muhammad. Dia memeluk agama Kristian dan menjadi seorang Kristian yang terpelajar. Walaupun dia adalah saudara dan penasihat rohani Muhammad, dia tidak pernah memeluk agama Islam. Selepas kematiannya, Muhammad telah bermimpi melihat Waraqah berpakaian putih dan mengambilnya sebagai tanda Waraqah selamat di syurga.
Hanif kedua ialah Abdullah bin Jashy. Pada mulanya dia memeluk agama Islam tetapi kemudiannya memeluk agama Kristian setelah berhijrah ke Habsyah akibat penganiayaan di Mekah. Abdullah selalu bersaksi kepada pelarian Islam yang lain tentang pengalaman rohaninya yang baru itu. Dia pernah berkata, "Kami (Kristian) melihat dengan jelas tetapi kamu (Islam) mengerdip mata sahaja." Maksudnya jelas – Abdullah percaya bahawa orang kristian mempunyai pandangan yang jelas dalam hal-hal rohani manakala Islam masih belum berjaya melihat terang kebenaran Allah.
Hanif yang ketiga ialah Usman bin Huarith. Dia merupakan saudara isteri pertama Muhammad dan memeluk agama Kristian semasa di Baizantin.
Hanif yang keempat, Zaid bin Amru, tetap Hanif sampai akhir hayatnya. Dikatakan dia selalu berdoa, "Ya Allah. Jika aku tahu jalan mana yang paling Engkau berkenan, aku akan menyembah-Mu dengannya. Tetapi aku tidak tahu."
Sebelum kerasulannya, Muhammad merupakan seorang Hanif. Pada setiap tahun, di bulan Ramadan, dia akan pergi bertapa di Gua Hira yang berdekatan dengan Mekah. Amalan ini sebenarnya berasal daripada orang Kristian di Syria yang kemudiannya menjadi popular di kalangan orang Arab.
Mengikut ajaran Islam, kenabian Muhammad bermula pada satu malam pada bulan Ramadan apabila dia terdengar satu suara menyuruh dia "mengucap" (yakni ayat-ayat Al-Quran yang bakal diturunkan kepadanya). Suara ini didengarnya ketika dia sedang bertapa di Gua Hira. Apabila dia mempertimbangkan kata-kata tersebut, malaikat Jibrail telah menjelma dan memberitahunya, "Muhammad! Engkaulah rasul Allah."
Pada mulanya Muhammad menyebarkan mesej Islam di kalangan orang Arab sahaja. Selepas dia berhijrah ke Madinah (yang banyak berpenduduk Yahudi), dia cuba memujuk orang Yahudi menerimanya sebagai seorang nabi setaraf nabi-nabi dalam kitab Taurat. Muhammad mengelar orang Yahudi dan Kristian "ahli-ahli kitab". Walaupun begitu, orang Yahudi menentang Muhammad dan menolak mesejnya. Mereka yakin kitab suci mereka tidak menyatakan apa-apa tentangnya. Sejak dari itu, Muhammad mula bermusuhan dengan mereka.
Apabila ditanya sama ada orang Islam orang Yahudi atau Kristian, Al-Quran mengarahkan orang Islam untuk memberi jawapan ini:
Berkata mereka itu: Beragama Yahudilah kamu, atau beragama Nasrani, supaya kamu mendapat petunjuk. Katakanlah: Bahkan agama Ibrahim yang lurus (kami ikut), dan bukanlah dia termasuk orang-orang musyrik. Katakanlah: Kami telah beriman kepada Allah dan (Kitab) yang diturunkan kepada kami dan apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak-anaknya (begitu juga kepada kitab) yang diturunkan kepada Musa dan Isa, dan apa-apa yang telah diturunkan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka, tiadalah kami perbezakan seorang juga di antara mereka itu dan kami patuh kepada Allah. Maka jika mereka beriman seperti keimanan kamu, sesungguhnya mereka mendapat petunjuk; tetapi jika mereka berpaling (tiada beriman seperti keimananmu), maka hanya mereka dalam perpecahan (dengan kamu); maka engkau akan dipeliharakan Allah dari kejahatan mereka, dan Dia Mahamendengar, lagi Mahamengetahui. (2 Surah Al-Baqarah ayat 135-137)
Apabila ayat-ayat ini yang dipandang dari sudut sejarah, maka jelaslah agama Islam merupakan satu panggilan untuk kembali kepada agama Ibrahim dan mesej nabi-nabi Allah. Apakah ini telah dilakukan penganut agama Islam? Apakah Islam hari ini mewakili agama Ibrahim, Ismail, Ishaq dan Yaqub yang sebenar? Apakah kitab Musa dan Isa ditaati hari ini oleh pengikut Islam?
Agama Ibrahim
(Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepada Ibrahim: Islamlah engkau! Jawabnya: Saya telah Islam(patuh mengikut) Tuhan semesta alam. (2 Surah Al-Baqarah ayat 131)
Siapakah yang terlebih baik agamanya dari orang yang menundukkan mukanya kepada Allah sedang ia berbuat kebaikan dan mengikut agama Ibrahim yang lurus? Allah telah mengangkat Ibrahim itu sebagai tolan (sahabat). (Surah An-Nissak ayat 125)
Agama Ibrahim ialah agama penundukan dan ketaatan kepada perintah-perintah Allah. Ibrahim menikmati banyak berkat kerana kejayaannya tunduk dan taat kepada Allah. Dia telah diberi anak yang soleh walaupun sudah berusia, anaknya ditebus Allah ketika Ibrahim patuh kepada arahan Allah (melalui mimpi) untuk menyembelih anaknya dan dia dijadikan imam bagi manusia. Akan tetapi berkat paling besar dialami Ibrahim ialah penghormatan menjadi sahabat Allah.
Bagaimana dengan anda hari ini? Apakah anda berjaya tunduk dan taat kepada perintah-perintah Allah Ibrahim, Ishaq dan Yaqub? Apakah berkat-berkat yang telah anda alami sebagai hasil kepatuhan ini? Apakah anda seorang sahabat Allah?
Mengapakah Allah berkenan kepada nenek moyang kita Ibrahim? Allah berkenan kepada Ibrahim kerana perbuatan Ibrahim, iaitu mempersembahkan Ishaq, anaknya di atas mezbah, sebagai persembahan kepada Allah. Kamu tidak nampakkah bahawa Ibrahim menunjukkan imannya dengan perbuatannya? Oleh itu, iman Ibrahim menjadi sempurna. Perkara itu sesuai dengan ayat Alkitab, "Ibrahim percaya kepada Allah, dan kerana imannya Allah menerima dia sebagai orang yang melakukan kehendak Allah." Itulah sebabnya Ibrahim disebut sahabat Allah. (Yakub bab 2 ayat 21-23)
Diposting oleh chei ianq cUpEr sLengeQan di 23.07 0 komentar
Kamis, April 16, 2009
PEMILU LEGISLATIF 2009 DI INDONESIA
Ada keteraturan dalam ketidakteraturan. Begitu kata ahli matematika dan fisika. Ada pola yang sama pada suatu struktur dalam skalanya yang kecil ataupun besar. Juga masih kata matematikawan dan fisikawan teori. Pun dalam sejarah. Ada pola dalam ragam peristiwa sepanjang ingatan manusia yang tampaknya acak itu. Pola itulah yang kemudian membentuk hukum-hukum sejarah. Sejarah digali agar bisa berulang, dan pula agar tidak lagi pernah terjadi. Dalam kehidupan politik bangsa kita, segalanya jadi tidak sama lagi sejak Revolusi Mei 1998. Terutama setelah orang-orang bisa relatif sangat bebas mendirikan partai.
Sejak awal banyak orang telah menduga bahwa sistim multi partai yang relatif sangat bebas itu akan memaksa partai-partai untuk berkoalisi. Koalisi diyakini akan jadi harga mati. Karena sangat sangat sangat (disebut 3 kali nih) sulit untuk mencapai suara mayoritas tunggal (kondisi ini akan membuat sistem kabinet parlementer, jika mungkin diterapkan, akan menjadi riskan, dan sangat labil. Belum lagi perilaku politik kita yang masih jauh dari dewasa. Sistem kabinet presidentil, sekalipun banyak kesenjangan antara konsep dengan prakteknya di Indonesia, akan membuat suhu politik relatif tetap stabil). Supaya bisa cukup punya kekuatan dan pengaruh di eksekutif maupun legislatif, partai-partai harus punya kemampuan membangun koalisi. Tapi rupanya praktek koalisi menjadi pil pahit buat banyak partai. Ada luka, ketakutan, dan kecewa yang dalam pada partai-partai itu. Sehingga kini mereka cenderung menghindarinya. Kalaupun akan dilakukan, kesan “melangkah dengan sangat hati-hati” jelas terlihat.
Koalisi akan menjadi hal yang sulit bagi Golkar dan PDIP. Hitung-hitungannya sangat berat. Terutama soal “bagi hasil”. Hampir tidak mungkin PDIP-GOLKAR berkoalisi. Hampir sulit berharap mereka bakal akur dan mesra. Sederhana aja kok logikanya. Coba tebak, siapa yang siap-mau-rela jadi cawapres, Mega atau Kalla kalau PDIP dan Golkar “bersatu”? Kita semua tahu bahwa kedua tokoh ini punya ego, kebanggaan diri, dan sipat keras kepala yang sama tinggi.
Tapi mungkin mereka (PDIP-GOLKAR) akan juga “bersatu” menjadi kekuatan oposisi. Siapapun yang akan jadi presiden kelak (selain dari GOLKAR atau PDIP), siap-siap aja dirongrong oleh mereka. Penting sekali “menjinakkan” mereka agar tetap kontruktif, apapun posisi mereka kelak terhadap pemerintah, mendukung atau oposisi sekalipun (istilah oposisi ini, kata para ahli, tidak tepat untuk sistem kabinet presidentil). Saya selalu berdoa semoga mereka masih tetap bertindak waras dan logis sekalipun kalah nantinya (baik dalam pemilu legislatif, apalagi dalam pemilu presiden).
Koalisi pun menjadi hal yang sulit bagi PKS. Karena negoisasi politik yang berkembang cenderung memaksa kita melunturkan warna dakwah dalam partai ini. Tentu saja kita sih berpolitik, dan berkuasa semata agar bangsa dan umat ini bermartabat. Bukan supaya kita leluasa berdagang atau bebas “menjual” asset negara dengan obral. Misi dakwah ini rupanya cukup jadi ganjalan buat partai lain untuk menerima kita dalam barisan koalisi mereka. Apalagi mereka merasa diri mereka lebih besar. Mereka pikir mereka tetap besar dan bisa “jalan tegak dengan dada membusung kepala mendongak” tanpa kita PKS. Tapi ternyata itu cuma perasaan kosong. Kebanggaan bolong. Pilkada di beberapa daerah sudah cukup membuat mereka tersentak kaget (awas jantungan loh), kemudian ketar-ketir deh. Berhitung ulang tentang konstelasi politik pada tahun 2009. Akhirnya dengan malu-malu kucing mereka mulai mencari kesamaan dengan kita (banyak indikasi ke arah sana. Kalo dibeberin mereka bakal malu dah), dan membuka pintu koalisi dengan kita. Siapapun yang menang, dan berhasrat tinggi untuk menang, mau tidak mau harus berkoalisi dengan PKS. Jika mereka ingin calon presiden mereka menang, maka partai yang paling bisa diharapkan untuk menambah perolehan suara cuma PKS. Pun jika mereka ingin membangun kekuatan oposisi di parlemen. Berkoalisi dengan PKS sebagai kekuatan oposisi yang membuat mereka menjadi “kekuatan yang tak tertandingi”.
Kita sejak awal tak punya masalah dengan sila-sila dalam Pancasila, NKRI, dan UUD 45. jadi tak ada hambatan ideologis untuk berkoalisi dengan partai manapun. Kita hanya harus terus menegaskan bahwa dakwah adalah ruh dan aliran darah dalam PKS. Upaya pembentukan Peradaban Islam Baru di Indonesia sekalipun dicita-citakan dan menjadi wacana, hanya akan terlaksana ketika rakyat siap, dan betul-betul menginginkannya. Itupun bisa jadi masih sangat panjang saatnya. Jadi kalem aje deh.
Pada Pemilu 2009 nanti kita punya peluang besar untuk menang. Tentu kita pun tidak boleh, dan tidak bisa terus sendiri. Kita perlu berkoalisi dengan lebih permanen. Terutama untuk pemilu presiden. Percaya deh, untuk urusan yang satu ini partai-parlai itu akan menyambangi kita. Kita punya posisi tawar yang kuat. Tidak lama lagi kita akan melihat, banyak partai mulai pedekate dengan kita. Kita bisa jual mahal sih. Karena kunci peta politik pada pemilu 2009 ada di tangan kita. Semoga kita tetap bisa bermain cantik, bermartabat, dan bermanfaat. Terutama bagi kejayaan bangsa ini.
Pemilu 2009?, ah kayaknya masih lama deh. Penting untuk tetap mengatur ritme atau tempo permainan, agar kita bisa tetap “segar” dan “bugar”. Kita sih cuman ingin mengabdi kepada keadilan dan kesejahteraan rakyat. Itu aja.
Diposting oleh chei ianq cUpEr sLengeQan di 22.36 0 komentar